Di suatu pagi ketika saya sedang berada di dalam bis hendak menuju rumah kedua, kantor maksudnya:), saya melihat sebuah pemandangan yak tak biasa ketika bis sedang bergerak perlahan-lahan di sekitar jalan Medan Merdeka dan hendak memasuki Jalan Thamrin Jakarta. Persis di persimpangan di depan gedung Kebudayaan dan Pariwisata, saya melihat sebagian besar orang di jalanan sedang mengarahkan pandangan mereka ke satu arah tertentu (duh! Jadi ingat satu lagu jadul nih, apa yaaa? hehe:)). Mulai dari pak Polisi yang sedang bertugas, para pengendara motor dan mobil yang sedang berhenti di depan lampu merah sampai kepada para penumpang bis yang sedang saya tumpangi pun semuanya tengah memandang ke arah itu. Mungkin ada yang bertanya memang ada apa siiiy???, apakah ada presiden Obama sedang jalan di situ sendirian? *gak mungkiiin*, atau ada SBY dan JK yang sedang lari pagi?? *sambil reuni mengenang masa lalu gitcu*, atauuu jangan-jangan ada Mbah Surip yang lagi konser nyanyi hiiiiiiiiiiiii sereeeeeemmm.
Sebuah pemandangan yang tak biasa memang di pagi itu, mungkin bukan buat saya saja tetapi juga buat semua orang yang berkesempatan menyaksikan pemandangan itu. Saat itu saya melihat ada tiga orang laki-laki (saya menyebut tiga orang itu dengan ”saudara kita”) yang sedang mengunjungi rimba Jakarta. Mungkin sebagian besar kita memandang aneh terhadap saudara kita itu, tetapi buat saya mereka adalah cerminan ”kesederhanaan” dan ”kepolosan” dari makhluk yg bernama manusia. Yaitu manusia-manusia yang belum tersentuh oleh kemajuan dan kebudayaan (sebenarnya mungkin mereka mau saja disentuh kalau ada kesungguhan dari kita untuk menyentuh mereka). Meski sebenarnya ”kesederhanaan” yang mereka pertahankan itu (menurut saya) bukan pada tempatnya.
Tiga orang saudara kita itu berasal dari perkampungan Badui sana, maaf ini hanya berdasarkan asumsi saya pribadi dari aksesoris yang tampak yang saat itu mereka gunakan, dan mudah-mudahan tidak salah. Tapi yang pasti tiga orang tersebut jelas bukan penduduk Jakarta. Mengapa saya menganggap bahwa tiga orang saudara kita itu adalah orang-orang dari perkampungan Badui?. Pertama, karena mereka menggunakan tutup kepala (sapu tangan yang diikatkan di kepala) berwarna hitam. Kedua, pakaian yang mereka kenakan pun serba hitam, rok berwarna putih kumal, serta tidak menggunakan alas kaki. Ketiga, mereka juga menyandang buntelan yang berwarna putih kumal. Ketika SMA dulu saya pernah mengunjungi perkampungan Badui Dalam, dan keseharian mereka dalam berpakaian yah seperti itulah.
Pada kejadian yang saya lihat waktu itu, tiga orang saudara kita tersebut sedang bercakap-cakap dengan seorang pejalan kaki. Mungkin mereka sedang bertanya tentang sebuah alamat atau mungkin yang lainnya, jelas saya tidak tahu sama sekali. Namun kelihatan sekali mereka sedang mencari sesuatu di Jakarta ini. Melihat tiga orang saudara itu saya jadi terfikir, mengapa ya mereka masih bertahan dan nyaman dengan kondisi ”kesederhanaan” yang seperti itu. Kalau boleh saya menyebut sebuah kesederhanaan berbalutkan keterbelakangan (maaf kalau kurang tepat istilahnya). Bukankah dalam ”kesederhanaan” yang mereka yakini itu menyebabkan mereka jauh tertinggal dibandingkan orang-orang yang dengan mudah menerima perubahan dan perkembanan zaman. Setiap saat segalanya berubah dengan sangat cepat dan kian tak terbendung, apalagi di zaman yang serba canggih di atas dunia yang sudah seperti tak berbatas ini. Saya fikir ”kesederhanaan” mereka itu justru merugikan diri mereka sendiri.
Itu kalau saya melihat dari sisi mereka sebagai manusia yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan dalam hidup ini. Tetapi kemudian kalau saya coba memandang dari sudut pandang di luar diri dan masyarakat saudara kita itu, saya jadi terfikir, sebenarnya mereka yang tidak mau disentuh oleh kemajuan teknologi dan peradaban, atau justru kita-kita ini yang tidak mau bersungguh-sungguh menyentuh mereka untuk sama-sama ikut berubah (dalam arti positif) mengikuti perkembangan peradaban manusia yang kian pesat??. Bahkan kalau saya melihat kok ya mereka seperti cenderung dipertahankan untuk kepentingan tertentu. *ah suudzon nih Rita*, yah mudah-mudahan saya salah.
Bagaimana menurut sahabat?, kira-kira usaha apa yang bisa kita lakukan untuk saudara-saudara kita itu agar mereka juga bisa merasakan kemajuan peradaban manusia ini tanpa merasa terpaksa?. Mungkin ada yang pernah berkunjung ke perkampungan Badui Dalam atau tempat-tempat lain yang hampir sama kondisinya???. Mari berbagi cerita di sini, insyaALLAH akan ada manfaat yang bisa dipetik tentunya.
setiap bulan saya jg menyaksikan saudara kita itu lewat di sekitar alun2 karawang. biasanya mereka jalan berdua dengan memikul botol madu, pakaian hitam bertelanjang kaki.
ReplyDelete"perjalanan" saudara kita ini pernah ditayangkan TV. klo yg badui dalam katanya sih lbh istiqomah dng tradisi lamanya, sangat membatasi dng dunia luar. tp yg berjalan di kota2 menjual madu itu termasuk yg dalam, luar atau di antara dalam-luar, saya nggak begitu paham..
**kira2 klo kita jalan2 ke perkampungan mereka jd bahan tontonan nggak ya :)
@guskar
ReplyDeleteiya, saudara kita itu kalau kemana-mana selalu berjalan kaki karena memang menghindari naik kendaraan. Kayaknya yg suka jalan2 tuh campuran kali ya Pak:)
Kalau kita jalan2 ke sana sama aja Pak, ternyata jadi tontonan juga:) *pengalaman wkt aku dulu ke Badui Dalam*...
benar pendapat rita, bahwa mereka bisa disentuh seandaiya kita memang tulus ingin menyentuh.. posisinya adalah kita lebih tahu daripada mereka.. mereka ada di pihak yang lemah. kewajiban yang lebih kuat untuk menggandeng yang lemah, siapa yang mulai..?
ReplyDeletebenar pendapat rita, bahwa mereka bisa disentuh seandaiya kita memang tulus ingin menyentuh.. posisinya adalah kita lebih tahu daripada mereka.. mereka ada di pihak yang lemah. kewajiban yang lebih kuat untuk menggandeng yang lemah, siapa yang mulai..?
ReplyDeleteIndin mengajak mereka ke khazanah hidup yang modern tentunya harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak menyinggung harkat mereka. Karena setahu saya peradaban yang mereka jalankan adalah pilihan hidup dan sebuah penghormatan terhadap alam dn Sang Pencipta.
ReplyDeletemenurutku sich memang dari "pihak yang berkuasa" di kampung itu yang memang tidak mau berubah. kalo anak buahnya (warganya) ya tergantung sesepuhnya. tapi istiqomah nya mereka kira-kira samapi berapa lama lagi ya :???: .
ReplyDeleteMbak Rita, bukannya mereka sendiri yang tidak mau disentuh demi mempertahankan adat istiadat mereka sendiri mengenai kesederhanaan hidup, dan memang sebenarnya kalo menurut saya kemajuan itu juga menghancurkan sebagian dari bumi kita. Seharusnya kita juga bisa hidup sederhana selaras dengan alam. Demi kelestarian alam.
ReplyDeleteselamat malam teman, JR mampir lagi malam ini untuk absen, bagaimana kabarnya teman
ReplyDeleteSaya kira kita yang mesti lebih bijak untuk melihat kedalaman sisi mereka. Saya yakin, dengan persentuhan yang tepat, kita akan lebih tahu apa yang terbaik mesti kita perbuat untuk mereka. Betul kata Bundo nakja, posisi kita lebih tahu. Kita yang mesti menggandeng. Nice posting, Rita. :)
ReplyDelete@nakjaDimande
ReplyDeleteiya Bund, aku kok ya terfikir saudara kita itu kalau diibaratkan sama saja mungkin kondisinya dengan masyarakat jahiliyah sebelum mendapat sentuhan hidayah. Dan ketika ada "tangan" tulus datang membawa mereka ke jalan terang, Alhamdulillah semuanya berubah. Seharusnya yang memulai adalah pihak-pihak yang memiliki otoritas lebih Bund, yah Pemerintah, karena pastinya mereka memiliki "akses" yg besar untuk sampai ke saudara kita itu...
@xitalho
Betul sekali mas, harus dengan cara yang sangat halus. Makanya saya bilang di atas bagaimana caranya agar mereka bisa tersentuh tapi tidak merasa terpaksa. Karena "kesederhanaan" yg mereka jalankan sekarang adalah pilihan hidup mereka. Tapi insyaALLAH pasti ada jalan kalau kita mau dan berusaha tentunya.
@sugeng
Nah setuju banget tuh mas!, makanya sebenarnya yang paling awal bisa didekati ya penguasa/pembesar saudara kita itu.
Karena kalau warga sih biasanya hanya manut saja sama sesepuhnya...Nah berarti kan Pemerintah dulu tuh yg musti aktif "mendekati" para sesepuh tadi...
@tukangpoto
Hmm, saya fikir mereka tidak mau disentuh karena "kekurangtahuan" mereka tentang manfaat positif kemajuan zaman mas. Nah sekarang bagaimana mereka bisa tahu kalau orang-orang yang sudah tahu seperti kita2 kurang peduli atau masa bodoh dan membiarkan mereka dalam "kegelapan" itu.
Saya tidak menafikan kemajuan zaman banyak juga yg negatif, nah di sini lah mungkin diperlukan tindakan yg selektif dari kita dalam menerima kemajuan itu. Mana yang baik dan mana yg merugikan bagi kita dan alam sekitarnya.
@JR
malam juga teman. ALhamdulillah baik dan semoga begitupun dg dirimu...terima kasih ya sudah mampir.
sederhana tidak harus terkebelakang......
ReplyDeleteaku akan membahasnya dari sisi lain yang kuketahui sebagai fakta. dari beberapa orang yang pernah kutemui baik itu bertemu dijalan atau aku minta mereka untuk duduk dan sekedar untuk minum dan makan.
ReplyDeletedari hasil oleh pembicaraanku ada beberapa hal yang cukup menarik ku garis bawahi. Mereka bukan orang bodoh ataupun terbelakang satu diantara mereka sangat mengerti tentang permasalahn kekinian dan aku bilang sangat berwawasan dan mereka kenal beberapa orang tertentu (pejabat) di berbagai daerah. Sepertinya ditiap2 pos daerah tertentu mereka punya kontributor alias kenalan mereka yang siap untuk di jadikan tempat beristirahat. aku sempat terpikir apakah ada yang mengelola mereka minimal kelompok2 tertentunya.
ada diantara mereka dari sudut matanya terlihat orang yang sangat cerdas dan mengerti akan siapa kawan berbicaranya. aku pikir sangat mengangumkan.
memang jarang sekali menemui orang seperti mereka
satu lagi ada tanda khusus , dan aku pikir hanya orang2 tertentu saja yang punya tanda seperti itu
Postingan ini sangat baik. teori jaring
ketika kita bicara tentang modernisasi vs kesederhanaan, keterbelakangan vs kemauan untuk membuka diri thd perkembangan ilmu pengetahuan, maka jika boleh saya memilih, saya lebih ingin mereka bisa membuka diri (dg kesadaran mereka atau upaya kita) terhadap perkembangan ilmu, dengan tetap mempertahankan kesederhanaan mereka. cara pandang boleh berubah, tapi gaya hidup mereka adalah cerminan dari penghormatan mereka terhadap alam semesta. dan diakui atau tidak, orang2 modern kalah kok ketika 'bicara' tentang keseimbangan hidup, kelestarian alam yang mereka jadikan nafas hidup. selektif, seperti kata mba rita, ya mungkin itu kuncinya, meski sepertinya akan sulit. karena ketika aroma modernisasi sudah menyentuh, segalanya akan berubah.
ReplyDeleteeh ya mba... makasih do'anya ya.. ^_^
Tak ada keharusan bagi orang luar untuk mengenalkan kemajuan zaman pada orang-orang suku badui.Jalan-jalan kaki ke kota memang bagian dari tradisi mereka mbak. Dan tradisi itulah yang perlu diapresiasi dan dilindungi
ReplyDelete@Khery Sudeska
ReplyDeleteYup! aku sepakat bang, seharusnya kita bisa menggandeng mereka pelan-pelan, meski memang membuka dan mengubah pola fikir seseorang itu tidak mudah, apalagi bagi masyarakat yang memiliki kepatuhan fanatik luar biasa kepada leluhurnya...
@komuter
tepat sekali mas kom:), menurut saya sederhana itu lebih kepada perilaku atau sikap dalam menghadapi glamornya kehidupan dunia, namun bukan pada tataran pemikiran...Saya jadi teringat prinsip hidup seorang tokoh dunia *tapi lupa euy, apakah Jawaharlal Nehru atau siapa yah*, prinsip beliau kurang lebih berbunyi: "Sederhana dalam bersikap, tinggi dalam berfikir"...
@kawanlama95
Hmm, sebuah fakta yang sangat menakjubkan yah kak. Ternyata diantara mereka ada yang faham akan masalah kekinian. Tapi kalau ada dari mereka yang faham, kenapa mereka tidak mencoba membuka pola fikir dengan cara berbaur dengan yang lain dan hidup secara wajar, tentunya dengan tidak harus meninggalkan sikap kesederhaan mereka dalam kehidupan sehari-hari yaitu bersahabat dengan alam sekitar.
Terbuka dalam arti menerima kemajuan peradaban yang memberikan manfaat positif kepada kemajuan berfikir mereka..Kenyataannya kan mereka malah mengikuti secara fanatik adat istiadat leluhur mereka. Kita ambil contoh anak-anak mereka dibiarkan tidak bersekolah karena tidak mau bersentuhan dengan dunia luar, dari segi kebersihan diri mereka pun begitu sangat cuek.
Padahal kalau di luar sana ada juga kok satu masyarakat yg sangat menjunjung tinggi persahabatan dengan alam dan menolak bersentuhan dengan kemajuan teknologi, yaitu suku amish di Amerika sana. Tetapi mereka benar-benar hanya tidak mau bersentuhan dengan kemajuan teknologi saja (kecuali untuk kegiatan usaha mereka mau kok menggunakan teknologi modern). Sedangkan untuk masalah pendidikan, anak-anak mereka bersekolah, kehidupan sehari-hari mereka bersih dan higienis. Nah kenapa coba suku Badui tidak meniru gaya hidup seperti suku Amish itu...*meneketehe! kata kawanlama* hehehe, duh serius banget yak aku:)..
@kidungjingga
Sepakat sekali mba! saya pun cenderung berfikiran seperti itu, kesederhaan sikap hidup mereka harus tetap dipertahankan. Yang perlu untuk disentuh itu adalah pemikiran mereka.
@zenteguh
memang tidak ada keharusan mas *kalau saya panggil mas tidak merasa tua lagi kan hehehe* bagi kita untuk mengenalkan kepada mereka kemajuan zaman. Tetapi sebagai sesama saudara apakah kita tidak miris melihat kondisi sebagian saudara kita yang masih jauh tertinggal dari segi pola fikir, sementara kita tahu bahwa apa yang sedang mereka pertahankan dengan sangat kuat itu adalah sesuatu di luar wilayah logika, kecuali kesederhaan sikap mereka dalam hidup yah. Jadi yah saya berfikir ini sebagai sebuah tanggung jawab moral mungkin yah.
kadang meliha titu malah mengagumi Tuhan yang bisa menciptakan berbagai macam desain dan keunikan setiap orang..meski itu juga akibat kegagalan pemerataan ekonomi, tetapi dalam batas kewajaran menurut saya tidak perlu melakukan apa-apa untuk menaikkan taraf hidup mereka, cukup dipastikan suply makan minum serta keuangan secukupnya bagi desat atau daerah tertinggal
ReplyDelete@romailprincipe
ReplyDeleteMaha Agung dan kuasa ALLAH yang telah menciptakan beranekaragam etnis, suku bangsa, dan bahasa dari berbagai belahan dunia. Dan semua itu diciptakan olehNYA untuk saling kenal-mengenal, saling membantu dan bersaudara, bukan untuk saling berpecah-belah.
Saya fikir, meskipun saudara kita itu tinggal di pedesaan dalam kesederhaan hidup yang mereka jalani, bukan hanya sekedar kecukupan materi tentunya yang dibutuhkan, tetapi kecukupan dalam hal yang sifatnya lebih pada kebutuhan mendasar lainnya yaitu agaman, pendidikan dan informasi. Meski saat ini mereka "seolah" tidak peduli dengan segala kemajuan pemikiran dan peradaban manusia. Tapi mungkin kalau kita memiliki akses untuk melakukan itu, kenapa tidak. Tapi terus terang saya pun belum tahu darimana harus memulai itu. Yah saya baru bisa memulai untuk menyuarakan pendapat saya di blog ini, semoga ada manfaatnya.
sulit juga ngasih pendapat atas pemandangan itu..
ReplyDeletesatu sisi kita harus membantunya dan mengkawalnya hingga mereka bisa survival di tempat barunya
tapi sisi lain... kita bukan sapa2.. yg tak tahu juga apakah mereka orang baek atau jahat.. walo keliatan sodara.. tapi kan kita gak kenal mereka.. mau bantu tapi bantu pake apa?? yaa lagi-lagi pemerintahlah yg mustinya lebih care ama mereka.
tapi pemerintah kita kan gitu, mengecewakan. ah pusing juga yaaa..
Tak banyak yang kuketahui tentang badui. Kesadaran tuk menerima 'sisi positif' kemajuan tak akan muncul tanpa ilmu yang didapatkan. Ilmu takkan didapat jika tak ada yang memberi. Mereka mungkin ingin mengerti ttg kemajuan, tapi tak tahu mau kemana dan bertanya pada siapa untuk mendapatkan ilmu itu dalam kurung (teknologi). Kalau ttg agamanya bgmn kak Rita?
ReplyDeletesering sih di profilekan di TV Mba, ya saya kira tidak semuanya jelek. satu hal yang bisa saya ambil pelajaran atas tayangan suku ini, yaitu kebersamaan dan dalam menjaga alam sekitar untuk tetap sehat tak tercemari limbah berracun seperti di kota. yang lainnya, ya begitulah Mba.... kenyataanya bertahan sampai sekarang. suatu saat nanti mungkin akan juga berubah Mba...
ReplyDeletePengetahuanku tentang suku satu ini memang kurang.
ReplyDeleteRupanya mereka cukup bahagia dengan kehidupannya saat ini ya...
Selama mereka nyaman dan percaya dengan berpegang teguh pada budaya mereka sih, menurut saia justru mereka wajib kita lindungi dan hargai. Masalahnya kita punya selera Barat (bukan Indonesia) guna membuat patokan zaman :-D
ReplyDeletebuatku mungkin kita membiarkannya berpegang teguh pada tradisi, bayangkan bila mereka tersentuh budaya dan peradaban modern, mungkin hati mereka yang polos sucipun akan ikut berubah ataupun terbawa sifat-sifat materialistik.
ReplyDeletesuatu ketika ini juga sebuah fakta, diturnkanlah beberapa Intelijen kebudayaan di turunkan disuku asmat dengan misi agar suku asmat memakai baju dengan pendekatan kebudayan sang intelijenpun dengan membawa kebutuhan untuk kaum suku asmat berupa baju dan lain-lain namun selama beberapa waktu lamanya misi dijalankan hanya satu atau dua orang memakai baju.
ReplyDeletepadahal pada saat itu perencanaannya matang sekali
BTw , suku asmat sekarang udah banyak juga ya yang pakai baju. Banyak ya , ga tau dah , orang ga ngamati suku asmat kok.
wah keknya aku sempat dengar ada seorang aktivis bertahun-tahun tinggal disana , wah aku jadi inget orang tersebut apakah misi di sana berhasil ga ya.
aku nanya sama rita? loh kok nanyanya sama rita
biarin ah , kali aja rita tau
aku pernah ke perkampun9an baduy,yan9 rita lihat itu dari baduy dalam,cibole9er ya klu nda salah,mreka masih kuat tradisinya,klu baduy luar suda modern sedkit..
ReplyDeleteaku rasa peradaban mreka d9 mempertahankan budayanya cukup diacun9in jempol,tidak meru9ikan kok,smua yan9 mreka lakaukan tentu ada alasannya,dan meman9 benar mreka akan berjalan kaki kemanpaun mreka per9i,bahasa y9 mreka pakai adalah sunda totok,nda bs bahasa indonesia,jika kita memeberi alamat,yakinlah dia pasti akan sampai meski blm pernah sekalipun...
Mereka punya cara tersendiri memaknai hidup mba..dan bagaimana kearifan mereka ketika pada akhirnya bersinggungan dengan dunia luar yang sangat asing bagi mereka
ReplyDelete@Jawaban Rita: Setuju sekali! :)
ReplyDeleteHemmm... Memang repot sekali menelisik pemikiran mereka. Salut akan ulasannya.
ReplyDeletesemua kembali pada kebiasaan masing masing. kalo memang, mereka ada keinginan untuk ikut lebih maju, ya pastinya akan ada orang orang yang mungkin bagian dari kita yang akan menyentuh mereka dengan cara yang baik....
ReplyDelete*bingung mau komen apa* :)
Assalamu'alaikum wr.wb.
ReplyDeleteMungkin mereka begitu itu ada hubungannya dengan kepercayaan mereka. Susah kalau udah menyangkut dengan kepercayaan.
ReplyDeletekalau menurut hak1m, mereka jauh lebih beruntung daripada aku... ha ha... mengapa... karena mereka jauh lebih hidup daripada hidup. mereka mampu mengetahui belantara dan hidup didalamnya. dan mereka mengetahui kota dengan serangkaian keanehannya dan tak perlu ikut-ikutan menjadi aneh. mereka hidup sesuai apa adanya dan menjadi kaya dengan apa adanya itu. mereka menjadi "KAYA DENGAN KESEDERHANAANNYA" thats i think... insyaAllah kita memiliki spirit yang sama kalau mau dan mampu berbagi rasa....
ReplyDeletehakim
ada plus minusnya hidup dengan gaya "kesederhanaan" itu.
ReplyDeleteminusnya dulu, tidak mencicipi kemudahan2 yang bisa didapat karena kemajuan2 yang ada.
plusnya, dapat benar2 menikmati hidup, tidak lelah dan pusing karena harus mengimbangi ritme kemajuan yang sangat dinamis dan kompleks.
Cara Membuat Web
Salam Takzim
ReplyDeleteDari pinggiran kota Jakarta perkenankan salam kenalku mengudara disini
Sembari mengucapkan Selamat Pagi
Salam Takzim Batavusqu
aduh aduh.... mahap mahap baru mampir lagi rita sayang...
ReplyDeletesetelah sekian lama blog kesayanganku ini terlewatkan... hiks...
maaf kan daku yaaa.........
Salam ,Adekku :). berhari-hari gak silaturahim ke rumahmu.
ReplyDeleteAku sependapat sama kamu, mereka memang harus disentuh. Karena pastinya sudah mendarahdaging budaya turun temurun mereka. Sulit jika kita mengharapkan inisiatif dari mereka untuk bergerak maju mengimbangi kemajuan teknologi zaman ini.
Tentang bagaimana caranya, tentu harus mengamati lebih dulu karakter umum mereka. Agar bisa menemukan cara yang lebih alami dan bertahap untuk membantu mereka lebih maju.
hmm.. gimana yah mba... mereka gak bisa disalahkan juga sih klo misalnya mereka sangat 'SEDERHANA' tapi... hmm sulit juga. hehe
ReplyDeletebtw, mba rita apa kabar.. kangen udah lama dila gak mampir yah. maaf yah mba... klo lagi BW aku suka buru2... jadi beberapa orang kelewatan... salam mbaa.. :D
sampai kapan ya mereka bisa istiqomah dgn kesederhanaan seperti itu ?
ReplyDeleteutk tahan menghadapi kemudahan2 yg ditawarkan ?
salam.
de kapan kita kesana , di kapung naga garut juga bagus tuh..
ReplyDelete@kawanlama95
ReplyDeleteiya kapan atuuuh???, aku pengen banget liat kampung Naga, kata temenku juga bagus tuh kak...
Kalo kita yang jalan ke kampung mereka, pastilah jadi tontonan juga kali. Jadi siapa yang aneh...? Gak ada. Cuma beda persepsi aja, mungkin. Salam.
ReplyDeleteSaya link, ya, blognya.
Tak selalu apa yang menurut kita baik itu baik juga menurut orang lain.
ReplyDeleteSo, aku pikir biarlah mereka menikmati hidup ini apa adanya, menurut "bahasa" mereka.
Meminjam kata-kata sebuah iklan :
KUTAHU YANG KUMAU.
Mbak Rita, sebenarnya setiap setiap saya berangkat pagi hari menuju "rumah kedua" (pinjem istilah mbak rita-nya ya), ada juga yang cukup mengusik pandangan saya ketika saya melintas di jalan Sudirman, Jakarta.
ReplyDeleteSetiap hari Didepan gedung Nugra Santana (Sekitar Toyota) selalu ada seorang laki-laki yang dengan pakaian sederhana ala kadarnya (kalo nggak mau dibilang minim seperti tarzan) selalu berdiri dan memandang kearah yang berlawanan sambil bertolak pinggang, diam mematung seolah tidak mau kalah dengan patung sudirman beberapa ratus meter dibelakangnya.
Mungkin awalnya ia menarik perhatian, tapi karena sering akhirnya menjadi biasa saja.Berbeda dengan orang baduy yang mbak Rita lihat, mungkin kita terkesima dengan perbedaan seperti manakala kita datang ke daerah mereka yang serba sederhana, maka kita lah yang mereka anggap aneh dan mengundang perhatian.
Mau dicoba, kita berkunjung ke pemukuman Baduy atau Dayak di Kalimantan...? hehehe.. Yuuuk...
enak menyimak diskusi yang santun , begini .
ReplyDeletetrima kash mbak Rita salam hangat .