Wednesday, December 23, 2009

Generasi Rabbani

Hari ini saya iseng-iseng baca ulang satu buku yang dulu pernah saya beli pada saat masih kuliah yaitu sebuah buku tentang Keakhwatan (Wanita), sebuah serial yang isinya merupakan rangkuman dari materi-materi seputar wanita. Dan salah satu bab yang saya baca adalah terkait dengan sebuah generasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai Rabbani/Ketuhanan. Menjunjung tinggi di sini tentu saja dalam tataran aplikasi, bukan Omdo (Omong Doang) atau NATO (No Action Talk Only).

Saya membayangkan betapa indahnya ya jika sebuah keluarga, warga RT/RW, penduduk kampung, dan sampai pada tataran warga negara dan dunia memiliki prinsip hidup yang kuat. Seperti karang di lautan, tak tergoyahkan oleh hempasan ombak dan badai sekalipun, bahkan karang-karang tersebut justru akan berdiri semakin kokoh. Sebuah generasi yang mengaplikasikan dengan begitu kuat nilai-nilai Ketuhanan dalam perilaku mereka pada kehidupan sehari-hari. Tak mudah tergoyahkan begitu saja oleh dahsyatnya godaan dan rayuan yang datang. Mungkin dunia ini laksana sebuah surga yah, dan surga dunia tentunya, kerana surga akhirat itu kan hanya akan kita temui ketika dunia ini telah berakhir. Dan mudah-mudahan kita semua diizinkan oleh ALLAH untuk berjumpa di Jannah NYA kelak,amiin.

Sebuah Generasi Rabbani tentu saja tidak akan terbentuk dengan sendirinya, dibutuhkan sebuah titik awal dan proses panjang yang kita tak pernah tahu di titik mana proses itu akan membuahkan sebuah hasil yang kita impi-impikan. Tapi layaknya sebuah kehidupan, yang terpenting kan sebenarnya bukan hasil, tetapi proses itu sendiri. Sejauh mana kita bersungguh-sungguh menjalani dan menikmati sebuah proses, maka di situlah akan kita temukan keindahan berjalan di atas dunia *ceileee sok iye banget sih*. Kata buku-buku yang saya baca sih yah begitu itu;)...

Nah dari buku yang pernah saya baca juga, bahwa sebuah Generasi Rabbani diawali dengan penyiapan calon bapak dan ibu yang juga menjunjung tinggi nilai-nilai Rabbani, yaitu manusia-manusia yang memiliki prinsip hidup. Mereka memasuki gerbang keluarga dengan niat dan cara yang benar, agar nanti bisa melahirkan sebuah generasi yang benar pula (ini kata buku yah, bukan kata saya:)).

Yah mungkin akan menjadi sebuah utopi belaka ketika kita berbicara tentang Generasi Rabbani, tetapi di dalam diri dan keluarga kita sendiri masih acak-kadut kondisinya (berantakan maksud saya). Minimal kita memulai dari diri sendiri dulu lah, menengok kembali tindak-tanduk kita dalam keseharian, apakah sudah sesuai dengan tuntunan NYA atau masih jauh panggang dari api?. Dan mari kita bertanya pada satu bagian dari diri kita yang tak akan pernah bisa bohong, HATI NURANI. Karena sejatinya setiap dosa dan keburukan yang kita lakukan akan bisa terdeteksi oleh diri kita, yaitu ketika hati ini merasa gelisah dan tidak nyaman dengan perbuatan tersebut, maka bisa dipastikan itu sudah bersebrangan dengan Tuntunan NYA. Wallahu A’lam.

=========================================================

NB:
Tulisan ini (dan juga tentunya semua tulisan yang telah dan insyaALLAH akan dipublish) bukanlah sebuah cerminan bahwa saya adalah orang yang telah mampu menjalani proses perbaikan diri dengan baik. Sebaliknya ini adalah bagian dari cara saya untuk memotivasi agar terus bersemangat meningkatkan kualitas diri. Karena saya sangat menyadari perilaku saya dalam keseharian masih sangat jauh dari yg digariskan oleh NYA. Memang benar-benar butuh perjuangan dan pengorbanan untuk bisa menjadi pribadi yang baik. Dan diantara perjuangan dan pengorbanan itu adalah mencari ilmu, mengaplikasikannya, bersabar dalam keimanan, serta memegang teguh prinsip hidup. Dan mari kita bersama-sama saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran.

Dan maafkan yah sahabat tampaknya postingan ini sangat tidak terstruktur dengan baik, antara judul dan isi tidak terlalu nyambung (judulnya terlalu muluk, sementara uraiannya sangat biasa. Mohon maklum yah, masih terus dalam taraf belajar menulis niiy).

Saturday, December 19, 2009

Sapa Sing Tekun Golek Teken Bakal Tekan*


Sekitar 2 minggu yang lalu saya penasaran kenapa yah saya tidak pernah bisa masuk pada Singtekun thisweek nya blog Pak Guskar. Jangankan yang pertama, masuk dalam lima besar pun tidak. Terus iseng deh bolak-balik tuh halaman blognya Kyaine, kalau blog itu bisa ngomong mungkin dia akan bilang begini: ”woiii! udah dong berhenti bolak-balik gue!, kan gue capek dari tadi dibolak-balik mulu!”, dan untung saja tuh blog gak bisa ngomong hehehe...

Saya terkadang (cuma kadang-kadang aja sih) memang suka penasaran terhadap suatu hal. Ingin membuktika bahwa apa yang bisa dilakukan oleh orang lain, maka saya pun bisa melakukannya kalau saya mau berusaha tentunya. Dan pagi itu iseng saya klik lagi filosofinya blog tersebut:”sapa sing tekun golek teken bakal tekan”, Nah ini dia rahasianya!! seru saya dalam hati. Dan alhamdulillah berhasil!!, dalam dua hari itu saya bisa menjadi urutan pertama dalam Singtekun thisweek nya blog Kyaine. Tentu saja saya senang sekali, sampe pake woro-woro segala lagi sama si mpunya blog bahwa saya bisa jadi urutan pertama, norak banget gak sih!!?, biarin! hehehe...

Dan satu yang membuat saya sangat tersanjung adalah pada tanggal 10 Desember 2009, Kyaine blog memberikan penghargaan atas usaha saya itu dengan menghadiahkan sebuah buku yang tengah saya nantikan yang berjudul: ”Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”, melalui postingan beliau yang ini. Buku tersebut masuk ke dalam ”waiting list” buku yang akan saya beli, kalau udah punya uang lebih tentu saja. Dan alhamdulillah Pak Gus memberikannya untuk saya secara gratis!, terima kasih Kyaine:). Sebenarnya buku itu sudah sampai ke kosan saya yang lama pada hari Sabtu tanggal 11 Desember 2009, tetapi baru saya ambil pada hari minggu nya. Kemudian baru bisa woro-woro ke sahabat semua pada hari ini, sengaja nih saya pamer biar pada ngiri hehehe...

Eto, Kyaine ha totemo shingsetsu na tomodachi ne, honto ni arigatou gozaimashita! *sambil membungkukkan badan berulang-ulang ;), mudah2an ucapan terima kasih dalam bahasa Jepangnya enggak salah nih hehehe*.

Blog guskar dot com adalah salah satu blog favorit saya, selain blog nakjaDimande dot com dan blog yang lain yang tidak bisa saya sebutkan di sini, rahasia hehehe;). Dari tulisan-tulisan beliau dalam blognya saya belajar banyak hal, mulai dari bagaimana kita berhubungan dengan keluarga, dengan lingkungan sekitar, berhubungan dengan rekan kerja di kantor, membangun motivasi diri, membangun kesadaran akan kelemahan kita sebagai seorang hamba, dan banyak lagi pelajaran yang lainnya tentu saja. Beliau menulis dengan sajian yang ringan dan khas tapi dalam sekali menusuk ke relung jiwa, dan menariknya lagi beliau memaparkannya dengan gaya yang tidak membosankan. *Ini PAKTA yah!, bukan FUJIAN tanpa dasar ataupun PITNAH!;)*, kalau tidak percaya monggo silakan kunjungi blog beliau di http://guskar.com/.

Dalam hidup ini sebenarnya segala sesuatu yang belum kita dapatkan bukan berarti karena kita tidak bisa mendapatkannya. Permasalahannya hanya terletak pada sejauh mana dan sebesar apa ikhtiar yang telah kita berikan untuk bisa menggapai keinginan tersebut. Apakah usaha dan kerja keras kita sudah sebanding atau sudah memadai untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan itu?, dan sejauh mana pula tingkat kepasrahan kita kepada NYA setelah berbagai daya dan upaya kita kerahkan.

Nah kita tidak akan pernah tahu apakah sudah sebanding atau tidak ikhtiar yang kita lakukan sebelum kita berhasil mendapatkan sesuatu itu. Jadi intinya kita harus terus mencoba dan mencoba tanpa kenal lelah dan putus asa, sehingga pada akhirnya kita bisa meraih apa yang kita inginkan, INSYAALLAH. *itu kata teori, tapi prakteknya ternyata tidak semudah yang diucapkan kawan!, benar-benar butuh perjuangan tanpa lelah dan semangat yang harus terus menyala*.

============================================================

* Bagi sahabat yang ingin tahu lebih dalam makna tentang filosofi Sapa Sing Tekun Golek Teken Bakal Tekan, silakan baca pada blog Kyaine di sini.


Friday, December 11, 2009

Jejak-jejak Langkah Kita

Di atas butir-butir waktu kita pernah berjalan
Mendahului sang mentari bangkit dari peraduan
Menyusuri jalan dan lorong-lorong harapan
Berjalan kita menuju ladang penghidupan

Dengan daya ragamu kau gemburkan sawah kita
Akan kita semai benih-benih harapan di atasnya
Untuk masa depan dan kehidupan yang nyata
Jawabanmu ketika ku tanya untuk apa ini semua

Ditengah terik panas yang membakar raga
Kita berlindung di semak-semak pohon rumbia
Kita buka bekal nasi dengan lauk seadanya
Dan lenyaplah lapar dahaga dari tubuh kita

Setelah lepaskan penat, bermunajat kepada NYA
Kembali kau berjalan dengan semangat membara
Mengolah sawah tak kenal lelah dan putus asa
Demi anak-anakmu tuk bisa tersenyum dan tertawa

Senja sebelum mentari meninggalkan hari
Kita berhenti dan sudahi perjuangan di hari ini
di antara iringan burung-burung yang bernyanyi
Pulang kita mengiringi hari yang ‘kan berganti

Ibu, tengah aku susuri jejak-jejak langkah kita
Kau akan selalu hidup di setiap nafas dan rasa
Karena darahmu telah berpadu dalam ragaku
Memberikan kekuatan tuk terus melangkah maju

Di atas tanah jalan setapak yang pernah kita lalui
Telah kupetik hikmah dan pelajaran yang sangat berarti
Dari seorang IBU, sosok pahlawan yang pernah aku miliki
Perjuangan dan pengorbananmu kelak ‘kan menjadi saksi

Meski saat ini kau tak lagi hadir temani diri
Namun telah tertoreh kuat kenangan dihati
Yang akan selalu hidup dan menyala selamanya
Menerangi langkah pada butiran waktu yang tersisa

============================================

Puisi ini persembahan untuk Bunda tercinta
meski beliau sudah tak mungkin bisa membacanya,
Namun doa-doaku untuk nya tak akan pernah putus
selama hayat masih dikandung raga...

Puisi ini juga aku ikut sertakan pada Karnaval
"Minum Teh Bersama Ibu" di blog http://guskar.com,
dalam rangka menyambut hari ibu
pada 22 Des mendatang...

Semga bermanfaat bagi siapapun yang berkenan tuk membacanya...


Saturday, December 05, 2009

Tiga Orang Saudara Mengunjungi Jakarta.

Di suatu pagi ketika saya sedang berada di dalam bis hendak menuju rumah kedua, kantor maksudnya:), saya melihat sebuah pemandangan yak tak biasa ketika bis sedang bergerak perlahan-lahan di sekitar jalan Medan Merdeka dan hendak memasuki Jalan Thamrin Jakarta. Persis di persimpangan di depan gedung Kebudayaan dan Pariwisata, saya melihat sebagian besar orang di jalanan sedang mengarahkan pandangan mereka ke satu arah tertentu (duh! Jadi ingat satu lagu jadul nih, apa yaaa? hehe:)). Mulai dari pak Polisi yang sedang bertugas, para pengendara motor dan mobil yang sedang berhenti di depan lampu merah sampai kepada para penumpang bis yang sedang saya tumpangi pun semuanya tengah memandang ke arah itu. Mungkin ada yang bertanya memang ada apa siiiy???, apakah ada presiden Obama sedang jalan di situ sendirian? *gak mungkiiin*, atau ada SBY dan JK yang sedang lari pagi?? *sambil reuni mengenang masa lalu gitcu*, atauuu jangan-jangan ada Mbah Surip yang lagi konser nyanyi hiiiiiiiiiiiii sereeeeeemmm.

Sebuah pemandangan yang tak biasa memang di pagi itu, mungkin bukan buat saya saja tetapi juga buat semua orang yang berkesempatan menyaksikan pemandangan itu. Saat itu saya melihat ada tiga orang laki-laki (saya menyebut tiga orang itu dengan ”saudara kita”) yang sedang mengunjungi rimba Jakarta. Mungkin sebagian besar kita memandang aneh terhadap saudara kita itu, tetapi buat saya mereka adalah cerminan ”kesederhanaan” dan ”kepolosan” dari makhluk yg bernama manusia. Yaitu manusia-manusia yang belum tersentuh oleh kemajuan dan kebudayaan (sebenarnya mungkin mereka mau saja disentuh kalau ada kesungguhan dari kita untuk menyentuh mereka). Meski sebenarnya ”kesederhanaan” yang mereka pertahankan itu (menurut saya) bukan pada tempatnya.

Tiga orang saudara kita itu berasal dari perkampungan Badui sana, maaf ini hanya berdasarkan asumsi saya pribadi dari aksesoris yang tampak yang saat itu mereka gunakan, dan mudah-mudahan tidak salah. Tapi yang pasti tiga orang tersebut jelas bukan penduduk Jakarta. Mengapa saya menganggap bahwa tiga orang saudara kita itu adalah orang-orang dari perkampungan Badui?. Pertama, karena mereka menggunakan tutup kepala (sapu tangan yang diikatkan di kepala) berwarna hitam. Kedua, pakaian yang mereka kenakan pun serba hitam, rok berwarna putih kumal, serta tidak menggunakan alas kaki. Ketiga, mereka juga menyandang buntelan yang berwarna putih kumal. Ketika SMA dulu saya pernah mengunjungi perkampungan Badui Dalam, dan keseharian mereka dalam berpakaian yah seperti itulah.

Pada kejadian yang saya lihat waktu itu, tiga orang saudara kita tersebut sedang bercakap-cakap dengan seorang pejalan kaki. Mungkin mereka sedang bertanya tentang sebuah alamat atau mungkin yang lainnya, jelas saya tidak tahu sama sekali. Namun kelihatan sekali mereka sedang mencari sesuatu di Jakarta ini. Melihat tiga orang saudara itu saya jadi terfikir, mengapa ya mereka masih bertahan dan nyaman dengan kondisi ”kesederhanaan” yang seperti itu. Kalau boleh saya menyebut sebuah kesederhanaan berbalutkan keterbelakangan (maaf kalau kurang tepat istilahnya). Bukankah dalam ”kesederhanaan” yang mereka yakini itu menyebabkan mereka jauh tertinggal dibandingkan orang-orang yang dengan mudah menerima perubahan dan perkembanan zaman. Setiap saat segalanya berubah dengan sangat cepat dan kian tak terbendung, apalagi di zaman yang serba canggih di atas dunia yang sudah seperti tak berbatas ini. Saya fikir ”kesederhanaan” mereka itu justru merugikan diri mereka sendiri.

Itu kalau saya melihat dari sisi mereka sebagai manusia yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan dalam hidup ini. Tetapi kemudian kalau saya coba memandang dari sudut pandang di luar diri dan masyarakat saudara kita itu, saya jadi terfikir, sebenarnya mereka yang tidak mau disentuh oleh kemajuan teknologi dan peradaban, atau justru kita-kita ini yang tidak mau bersungguh-sungguh menyentuh mereka untuk sama-sama ikut berubah (dalam arti positif) mengikuti perkembangan peradaban manusia yang kian pesat??. Bahkan kalau saya melihat kok ya mereka seperti cenderung dipertahankan untuk kepentingan tertentu. *ah suudzon nih Rita*, yah mudah-mudahan saya salah.

Bagaimana menurut sahabat?, kira-kira usaha apa yang bisa kita lakukan untuk saudara-saudara kita itu agar mereka juga bisa merasakan kemajuan peradaban manusia ini tanpa merasa terpaksa?. Mungkin ada yang pernah berkunjung ke perkampungan Badui Dalam atau tempat-tempat lain yang hampir sama kondisinya???. Mari berbagi cerita di sini, insyaALLAH akan ada manfaat yang bisa dipetik tentunya.


Wednesday, December 02, 2009

CAKRAWALA BIRU

Di cakrawala biru berpadu sudah rasa itu.
Kau sapa hatiku dengan untaian kata yg syahdu..
Kusambut katamu dengan senandung keikhlasan…
Dan kusampaikan pesan cintaku lewat puisi keindahan….

Di cakrawala hati telah terukir indah namamu.
Berhiaskan awan diiringi alunan sang bayu..
Kulukis bayangmu di atas kanvas kehidupan…
Dan kusematkan harapan pada angin kerinduan.…

Di cakrawala kalbu kusemai benih kesabaran.
Berbalut asa bermandikan mata air impian..
Kuharap kau datang ke dermaga CINTA…
Dan kayuh biduk kita menuju nirwana….

Dimana gerangan duhai kasih pujaan.
Kutunggu engkau di cakrawala kenyataan..
Kita rajut ASA dengan kasih ARRAHMAN…
Dan keberkahan smoga hadir di sisa perjalanan….
=============================================

By:risantchan di cakrawala penantian.
Kupersembahkan tuk seseorang yang merasa tenteram baca puisi..
Maafkan bila puisi ini tak mampu menyembuhkan hatimu yang lelah...
itsumo ganbatte ne!:)


LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin